foto: sebastian unrau / unsplash.com |
Langkahku menapak perlahan.
Aku sering kesini,
Dengan sunyi,
Ada teriakan.
Yang entah apa.
Aku sering kesini,
Dengan sunyi,
Ada teriakan.
Yang entah apa.
Denyut arteri terpotong,
Tentang madu bertebaran
Aku menyerah.
Katanya.
Sedetik lalu aku
Baru bersingah
Pada satu ruang
Yang ku teguk
Hanyalah.
Segelas air hangat
Dan sedikit jahe
Sedikit asa yang mati.
Aku akan tetap
Berkawan dengan legam
Tapi sebentar
Bukankah setiap sajak ialah
sahabat karib sang sunyi
Rintiknya pun serupa denting
Langkah serak yang menyeruak pada si hitam
Setiap ramai adalah pukulan untuknya
Setiap beriak itu akan memecah heningnya
Semestanya hancur karena satu tawa
Tidak ada pencahayaan normal didalamnya
Aku ingin berlari lagi seperti sajak terdahuluku
Menerobos segala lorong dan derunya metropolitan
Meneguk coklat panas di pinggir kota
Menyaksikan tindas dan rampas
Ini asa mati
Tentang memandang tak
Lagi ada pada pusarannya
Jangan bertanya
Sehiruk pikuk
Apa sekarang.
Riuh rendah sorai
Senandung tarian hiasan kalung bunga
Para peronggeng ilusi
Riuh
Semua teriak
Semua bersulang
Entah apa pembahasannya
Kenapa tak kau tampar saja aku
Mengapa tak kau berkasar dalam setiap titahmu
Lalu dengan segala kelembutan.
Itu bising
Itu bukan sebuah kebenaran
Tuan,
Akan ku kisahkan pedar yang sesungguhnya
Yang diam di pualam hitam
Hujannya pun rawan awan kelam
Tuan,
Kau adalah bentuk kebebasan yang pernah ku genggam
Tentang burung camar yang mengais emas dalam kisahnya
Dari sang tambang yang merampas paksa
Aku pengemis dalam sajakku
Tapi tidak tuan,
Jangan kau kembali,
Jangan kau percaya,
Kata indah para puan
Habiskan obatmu
Istirahatlah,
Ini hanya kisah pedar
Ini hanya kisah …
Jumat 11.02.22
Ditulis oleh Sekar Cahya Nurani
Mahasiswa Prodi Manajemen Fak. Ekonomi
Universitas Islam Balitar
IG : schyn__
Thanks admin🙏🙂
BalasHapusPosting Komentar