Ilustrasi (Dok.Pribadi/Retno Mila Sari) |
Dulu sewaktu kecil, banyak dari kita yang memercayai hal-hal magis dan tidak masuk akal yang sumbernya dari tayangan film fantasi di televisi. Yang dikemudian hari akan menjadi topik hangat bersama teman-teman di sekolah.
“Kamu ingin jadi siapa?” Galih 9 tahun bertanya.
Temannya dengan semangat menjawab, “aku ingin menjadi penjelajah waktu.”
“Kenapa ingin jadi penjelajah waktu?”
“Aku ingin bisa kembali ke masa lalu untuk mengubah kejadian kalau aku atau ada orang lain membuat kesalahan,” anak kelas 3 SD itu menjawab.
Si kecil Galih yang terlalu muda untuk mencerna kalimat panjang nan serius tersebut menganggukkan kepala tanda setuju dengan alasan temannya itu.
Terdengar bodoh, tapi di suatu kondisi tertentu, Galih sangat menyetujui pendapat teman sekolahnya 9 tahun yang lalu.
Entah bagaimana, Galih hanya bisa berharap untuk bisa mengembalikan waktu dan mengubah kejadian 2 tahun yang lalu. Bahkan dirinya membayangkan betapa mudahnya bila dirinya bisa melakukan hal tersebut layaknya memotong beberapa detik adegan dalam sebuah video menggunakan aplikasi yang dengan mudah dapat kita akses di dunia modern ini.
Dan yang hanya bisa dia lakukan adalah menunggu. Opsi mendesak yang paling tepat untuk saat ini. Setidaknya kali ini Galih tidak lagi menjadi ceroboh dan egois. Tindakan preventif adalah jalan satu-satunya, sehingga tidak ada lagi yang terluka.
“Isn’t it tired… .”
“Tired of what?”
“…karena mendem semuanya tanpa bisa mengelaborasi apa yang lo rasain selama ini?”
Galih tersenyum. “Noah, kalau ngomongin lelah mah, nggak akan ada habisnya. Lagi pula waktu itu gue nggak bisa apa-apa.”
“Iya juga, ya,” ujar Noah. “Langkah apa yang akan lo ambil setelah ini?” Tanyanya kemudian.
“Sebenernya gue sendiri juga nggak tahu. Mungkin kalau sudah waktunya, gue akan ngobrol sama dia dengan hati yang lebih tentram,” jawab Galih dengan yakin.
Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Islam Balitar
Ig : bubaigawowra
Posting Komentar