foto : ilustrasi/pixabay
Di suatu ruangan hampa, terlihat seorang gadis duduk tak sadarkan diri dengan tangan terikat sempurna. Letaknya yang berada tepat ditengah-tengah ruangan menjadikannya pusat perhatian. Suasana terlihat redup, hanya terlihat beberapa pencahayaan lilin yang terpasang di sudut ruangannya.
Edo berjalan dengan santai menuju tubuh gadis itu. Senyum kelicikan, dengan jelas terukir di bibirnya. Tap.tap.tap. Ia melangkah dengan pasti menuju seseorang yang bisa jadi, akan menjadi korban kejahatannya. Edo berjongkok tepat didepan kursi, tempat gadis menyatu dengan ikatan tali.
Edo membelai dengan lembut rambut panjangnya. Turun ke muka, lalu berakhir di dagu lancipnya. Edo memaksakan gadis itu menatapnya, meskipun ia lebih memilih terpejam dan meneteskan air mata.
“Buka mata kamu.” Ucap Edo dingin.
Perlahan gadis itu membuka matanya, memperlihatkan pemandangan seseorang yang tak asing baginya. Sendu dan air mata tertahan di sana. Jantungnya serasa dipompa dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Seketika, Edo mengambil belati dengan tangan kanannya. Menyodorkan tepat dileher si gadis seakan ingin memutus urat nadi yang masih berfungsi di sana.
Keringat mengucur deras. Dengan mata terpejam, Nana menolehkan mukanya kesamping kanan dan kiri gusar.
“Tunggu tunggu.” Ungkap Edo menghentikan aktifitasnya.
“Kalau aku langsung menghabisimu, maka permainan akan selesai dengan cepat. Itu tidak akan seru.!” Ia mengalihkan belatinya ditangan si gadis, menyayatnya penuh kehati-hatian. Darah mengalir perlahan, membuatnya merasakan kepuasan akan perilaku biadabnya.
“Ahh, Hentikan Edo, eshh, hentikan.” Gerutu Nana lirih, disela-sela kegusarannya.
Matanya terpejam sambil menahan sakit dengan menggigit bibir bagian bawahnya.
Tawa puas Edo menggema memenuhi ruangan. Ia berdiri menuju kebelakang tubuh gadis tawanannya. Dari belakang, ia mencengkeram dengan kuat pipi si gadis. Lalu, menyayatkan pisau dileher gadisnya seakan ingin memutusnya seketika.
Edo, menyayat leher si gadis dengan gerakan yang aman pelan. Ia seperti tengah mengukir sesuatu yang indah di sana. Bentuknya yang abstrak, membuatnya menjadi seni yang tak ternilai harga dan keindahannya. Bagi Edo, ada kepuasan tersendiri ketika ia dapat melihat seorang gadis ketakutan oleh ulah bejatnya.
Darah merah mengalir di sana, membuat matanya terbuka sempurna. Seperti melihat kucuran pundi rupiah, senyumnya tak berhenti merekah.
“Ini, untuk yang terakhir, adakah kata-kata yang ingin kau sampaikan?” Bisiknya tepat di telinga si gadis, membuat bulu kuduknya meremang seketika.
Mulutnya seperti terbungkam, ia tak sanggup mengeluarkan sepatah kata sekalipun. Rasanya, seperti ada yang mencekik di sana. Hanya air mata yang mewakili perasaannya, ia meneteskan dengan puas di sana.
Karena merasa tak ada sahutan untuknya, Edo mengarahkan pisaunya tepat di leher bagian depan si gadis.
“Bersiaplah.” Ungkap Edo sambil menggoreskan pisau tajamnya.
“Kau tahu aku melakukan ini karena apa?” Bisik Edo dengan nafas panasnya.
Telinga yang merona itu, menarik perhatiannya. Ia melirik, dan mengamati dengan seksama. Cukup lama, hingga ia tak menyadari isakan gadis yang semakin memekakkan telinga. Bagaimana pun juga, siapa yang tahan dengan luka sayatan yang hampir memenuhi bagian tangan dan lehernya.
Seketika ia sadar akan sesuatu. Tanda lahir itu, hanya sekali melihat tak mungkin membuatnya lupa.
Belati terjatuh dari genggamannya. Kini, perasaan bimbang menyelimuti hati dan pikirannya. Ah, tidak. Seseorang seperti dia tak mungkin memiliki hati, tak ada satu pun perasaan iba dan kasih sayang yang ada. Hanya pikiran dan logika tak normal yang ia lakukan.
Edo menjambak sendiri rambut kepalanya. Ia memutar, membenturkan diri pada dinding kokohnya. Tangannya yang geram memukul dinding saksi bisu setiap kejahatan yang dilakukan.
Bayang-bayang dan memori masa lalu memenuhi kepalanya. Pikiran yang kacau membuatnya tak mampu berpikir dengan logika. Setiap tindakan yang dilakukan hanya wujud pemenuhan nafsu semata. Jiwa dan hasrat yang tersakiti, membuatnya menjadi pribadi yang kaya akan dendam dan dengki. Iri hati, itu sudah pasti.
Kenangan masa kecil dibuat terngiang oleh satu tanda. Akankah ia tersadar dan kembali pada masa lalunya? Atau ia akan meneruskan hasrat nafsu yang menguasai tubuhnya?
“AHHH!” Teriaknya frustasi.
Puncak emosi berada pada level tertinggi. Banyak hal yang membuatnya bimbang. Tapi, satu hal yang pasti. Banyak kesalahan yang sudah ia lakukan, waktu tak akan dapat diputar hanya untuk mengucapkan sebuah kata maaf untuk permintaan dan pengakuan kesalahan.
Mahasiswa Prodi Pend. Biologi Fak. KIP
Universitas Islam Balitar
IG : elshadewianggraeni
إرسال تعليق